9.27.2008

Menyoal Tolaransi dalam al-Qur’an

Tinjauan Konsep Toleransi dalam al-qur’an
Oleh Abdul Qadir J*)

Memahami toleransi dalam al-qur’an
Ulasan penulis disini mencoba menguraikan sebuah konsep toleransi yang ditawarkan al-Qur’an dalam membina sebuah tatanan kehidupan yang sarat perbedaan dalam berbagai sisi. Di berbagai tempat di tanah air akhir-akhir marak muncul kerusuhan dan tindakan anarkis yang mengatas namakan dirinya suatu agama dan suatu kelompok yang benar dan paling benar. Lebih mengecewakan lagi mengatas namakan islam, agama yang sangat toleran ini. Oleh karena itu dirasa sangat perlu kajian serta analisis yang kuat dan tidak memihak pada suatu kelompok tentang konsep dan makna toleransi yang diajarkan oleh al-Qur’an.

Toleransi atau “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh). bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.

Secara tersurat memang tidak ada penyebutan kata toleransi/tasamuh dalam al-Qur’an, namun secara eksplsit alqur’an menjelaskan konsep toleransi dengan batasan-batasan yang sangat jelas dan gamblang, oleh karena itu penjelasan ayat-ayat tentang tolearnsi dapat dijadikan pedoman dalam membina sbeuah kerukunan hidup (tolearnsi) antar umat.

Fitrah manusia diciptakan dengan berbeda-beda, agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb., oleh karena itu Allah juga membuat aturan-aturan dalam menghadapai perbedaan-perbedaan tersebut. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam.

Konsep toleransi yang ditawarkan al-qur’an sangatlah rasional, praktis dan mudah. Hidup rukun, damai, serta memahami dengan segala macam perbedaan itulah yang dicita-citakan oleh al-Qur’an yakni sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin). Disamping itu al-Qur’an selalu menawarkan kemudahan-kemudahan dalam segala bentuk menjalankan agama termasuk disini dalam menjalin hubungan harmonis dengan segala perbedaan-perbedaannya.

Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Lingkup akidah inilah yang sering di terjang oleh sekelompok golongan dengan memahaminya sebagai toleransi antar umat beragama, sedangkan dalam al-Qur’an sangat jelas disebutkan pada akhir surat al_Kafirun “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Inilah yang dapat penulis fahami dari ayat ini. Ayat ini sangat tegas dan juga sangat toleran, bahwa dalam tatanan akidah merupakan prinsip dalam beragama yakni keyakinan tunggal. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan.

Ayat lain juga menegaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. Dalam surat asyura ayat 15 Allah berfirman yang artniya :
“ bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".

Itulah toleransi yang diajarkan dalam al-Qur’an, sebuah konsep toleransi yang bisa diterima oleh semua kalangan dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan. Memang tepat jika al-Qur’an itu dikatakan kitab paling toleran di muka bumi, namun harus difahami juga batasan-batasan toleransi yang dimaksudkan didalamnya.

Lebih jauh lagi dalam al-Qur’an disebutkan tidak ada paksaan dalam bergama, dalam surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah [2] : 256).
Banyak kalangan terjebak dalam memahami ayat di atas dengan pluralisme tanpa batas, tanpa memperhatikan batas-batas toleransi yang juga diatur dalam al-Qur’an, disisi lain kalangan fundamnetalisme dengan kerasnya menyerangnya dengan ayat lain yang dianggap menghapus (nasakh) ayat tersebut oleh ayat 85 surat surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.”
Prof Hamka dalam karya monumentalnya tafsir al-Azhar dengan sangat hati-hati menyatakan ayat di atas tidak di hapus oleh ayat 85 surat Ali Imran, Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.” (Hlm 217).
“Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.” (Hlm. 217).
Tentang neraka, Hamka bertutur: “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Hlm. 218).
Sangat aneh jika mengatas namakan al-Qur’an sebuah kebebasan beragama lantas mengotak atik agama semaunya sendiri, bahkan dengan sangat bernai mengaburkan kebenaran suatu agama tertentu, tanpa mau menerima kebenaran dari lawan tandingnya fundamentalisme yang masih dalam satu keyakinan (seagama). Dan sangat janggal dengan atas nama agama juga tidak mengenal adanya sebuah toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan sangat mudahnya mengharamkan, bahkan mengakfirkan kelmpok lain sehingga tidak mau menerima hidup berdampingan dengan selain kelompoknya apalagi yang berbeda agama. Dalam hal ini sikap moderat yang sangat bijak adalah memahami toleransi dengan batasan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.
Membangun toleransi dalam agama dan antar agama

Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menganiayanya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)..., janganlah saling menghasud, janganlah saling bermusuhan, dan janganlah saling bertengkar ..., dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Dr.Yusuf Qardhawi, dalam bukunya: ‘ Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh memberi dua pengertian terhadap makna persaudaraan dalam ungkapan hamba Allah dalam hadis tersebut. Pertama persaudaraan Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukkuwwah Insaniyah ‘Ammah (persaudaraan antar manusia secara umum). (lihat, Al A’raf: 65, 73, dan 85).

Kedua, bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka’bah di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al Qur’an dan Rasul yang satu yaitu Muhammad SAW serta oleh satu Manhaj yaitu Syari’at Islam. Inilah yang disebut Ukhuwwah Diniyah (Islamiyah) yang khusus yang tidak bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah diniyah ini memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari’ah serta pemikiran dan tingkah laku.

Al Qur’an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara keduanya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara...” (Al Hujurat: 10). Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: .”.. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Anfal: 62-63).

Syfi’I maarif dalam sebuah artikelnya yang berjudul “sikap toleran dalam al-Qur’an” menyebutkan tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lihat Al Baqarah: 256) atau sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Dan jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus [10]: 99).(Resonansi, www.republika.co.id )
Sudah menjadi sunnatullah sebuah perbedaan, dan sebuah kemustahilan untuk menyatukannya dalam satu warna, satu pendapat dan satu agama. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis telah di tetapkan cara menyikapi perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan ini, tanpa adanya kekerasan maupun paksaan dengan aturan-aturan toleransi yang rasional, praktis, dan mudah. Dari situlah akan dipetik sebuah rahmat dari adanya perbedaan.( “ikhtilafu ummati rahmatun” hadis aw kama qal.) sehingga tercapai sebuah agama yang lurus dan penuh toleran(hanifiyah as-samhah. Wallhu a’lam.

*) Mahasiswa Fakultas Syari’ah jurusan ahwal as-syahsyiah IAIN sby 

Sumber bacaan.
Abdul fatah “ Toleransi beragama dalam perspektif al-Qur’an”
www.gatra.com/2008-02-29/
Dr. Yusuf Qardhawi “Membina Ukhuwah Diniyah dan Insaniyah” dalam centre for moderate moslim Indonesia. http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php
Inti sari dari artikel, Ahmad Syafii Maarif, ‘Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah’, Resonansi, www.republika.co.id )

0 komentar:

Posting Komentar