12.28.2008

Saya Bangga Jadi Santri


Bukan sebuah apologi jika saya harus mengatakan begitu, memang dulu sebelum melanjutkan pendidikan di pondok maupun ketika ada di pondok label santri serasa tidak nyaman. Bahkan pernah suatu ketika temen saya seaktu pulang dari pondok berpenampilan ala preman, kesel bukan main ketika dia masih dipanggil dengan "cah ke pondok kan?" oleh kernet sebuah angkot. 

Pemetaan kaum borjuis dengan kaum abangan atau kaum sarungan oleh Belanda ternyata masih melekat dikalangan kita, sayapun merasakan hal demikian dulu sewakt masih di Pondok, Identitas kesantrian tidak mau diketahui oleh temen-temen luar pondok. 

Semenjak saya jadi Mahasiswa dengan peragaulan yang penuh dengan kebebasan baru menyadari betapa beruntungnya saya dulu dimasukkan ke pondok oleh Bapak, betapa mulyanya seorang santri, betepa rindunya saya dengan semangat kelimuan yang tertanam dipondok dulu, betapa ikhlasnya ustadz saya di pondok dulu. 

Dunia Kelimuan yang saya rasakan sekarang jauh dari itu semua, temen-temen saya, dosen-dosen dan lingkungan saya. Oleh karenanya basic pengetahuan yang tertanam diPondok dulu begitu sangat berharga sebagai bekal menuju kehidupan dunia kebebasan.

Prestasi akademik sang santri juga tidak jauh kalah dengan hasil didikan nonsantri, meskipun itu dalam bidang sain dan teknologi. Empat Tahun terakhir DEPAG menyeleksi santri berprestasi untuk ditempatkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia, dan prestasi mereka tidak memalukan, di IPB misalnya 3 tahun berturut-turut nilai mahasantri tersebut comlode 4, di UIN Syarif dalam bidang kedokteran juga begitu. 

Masyarakat harus belajar berterima kasih kepada Pesantren dalam membangun generasi muslim Negeri Ini,  andilnya terutama dalam membangun akhlak pemuda kita sangat besar, meskipun pesantren ataupun pimpinan pondok tidak mengharapkan semua itu. Apresiasi masyarakat dan Pemerintah perlu ditingkatkan bagi kemajuan pendidikan pesantren. 

Anggapan bahwa santri tidak bisa apa-apa, tahunya hanya baca kitab to'  sudah tidak relevan lagi, kini santri sudah bisa jadi dokter, jadi tentara, jadi dosen, jadi politisi, Mentri pebisnis dan lain sebagainya. meskipun disana-sini masih ada sebagian yang tetep dengan komitmennya. 



12.27.2008

3 Doa 3 Cinta, sebuah catatan sang santri


Film ini mengingatkan saya pada kehidupan pesantren dulu, meskipun hanya sebentar numpang tinggal ditempatnya pak kiyai kehidupan santri serta tetek bengeknya banyak saya ketahui dan saya alami. Kehidupan santri sungguh unik, beda dengan kehidupan pelajar-pelajar lain atau bahkan masyarakat luar kebanyakan.

Sebelum melanjutkan pendidikan di pesantren, dulu ketika guru saya menanyakan "kamu mau melanjutkan kemana?" saya malu-malu bahkan gengsi mengatakan "Mondok" temen-temen juga mermehkan. Berbeda dengan temen saya yang lain dengan bangganya mengatakan "Saya mau lanjut di SMAN 1" yang pada waktu itu merupakan sekolah unggulan dan faforit. Mungkin itu sebuah gambaran betapa pendidikan Pesantren tidak mendapat tempat dihati pemuda dan masyarakat selama ini. 

Hal yang melatar belakangi tersebut adalah sebuah persepsi yan menempatkan Pesantren dan Santri dengan sebuah keterbelakangan, kuno dan bahkan kolot. Memang sebagai santri saya tidak menyalahkan hal tersebut, namun tidak bisa dibenarkan jika santri diidentikan dengan sebuah kelatar belakangan. 

Ada banyak macam peantren, ada yang salafy, ada yang Modern dan ada yang memadukan antara keduanya. Memang kebanyakan pesantren yang dipimpin oleh seorang kiyai adalah otoritatif, semuanya apa kata pak kiyai, istilah " sendiko dauwh pak kiyai" termasuk pengelolaan dan sistem yang diinginkan oleh pimpinan pondok, mau yang salaf, modern atau memadukan keduanya. Oleh karenanya muncul corak dan khas yang sangat berbeda antara pesantren yang satu dengan yang lainnya. semisal Sidogri dengan kesalafiyahannya, Gontor dengan kemodernannya, atau Buduran, Sidoarjo dengan salafy dan modernnya. 

Kembali pada Film 3 Doa dan 3 Cinta perlu dicatat bahwa itu hanya sekelumit dari kehidupan santri yang ada di salah satu pondok dengan salah satu sistem dari sekian banyak yang ada, bukan berarti itu menjadi gambaran utuh tentang santri atau kiyai. 

Satu hal menurut pendapat saya yang tidak bisa ditemukan dalam kehidupan luar pesantren, yaitu sistem pendidikan yang sangat bagus dari pada sistem pendidikan nonPesantren, FULLDAY SCHOOL adalah sistem yang banyak ditiru oleh pendidikan nonPesantren. Dan semangat belajar yang laur biasa yang tidak bisa saya dapatkan setelah keluar dari pesantren. 

"Saya Bangga jadi Santri" InsyaAllah akan saya tulis pada posting berikutnya.