Dalam termenologi Ushul Fiqh syarat didefinisikan dengan sesuatu yang kehadirannya menjadi penentu keberadaan hukum, namun tidak secara serta merta hukum itu ada ketika sesuatu itu ada. Pendek kata, ketika syarat tidak terpenuhi maka hukum tidak jalan, tetapi belum tentu ketika syarat terpenuhi maka hukum pun bisa jalan. Artinya, ketika tidak ada syarat pasti hukum juga tidak ada, akan tetapi ketika syarat ada tidak pasti hukum pun ada. Kemungkinan hukum itu masih menunggu datangnya sebab, atau bahkan ada manī’ (penghalang) yang menyebabkan hukum tersebut mandul. Dan hal terpenting, yang membedakan syarat dari rukun, adalah bahwa syarat bukan merupakan bagian internal dari sebuah rangkain pelaksanaan suatu perbuatan. Ia berada di luar, tidak termasuk dalam rangkaian pelaksanaan. (Al-Bannāniy, Hāsyiyah al- Bannāniy, juz. II, hlm. 20; Abd. Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, hlm. 119).
Untuk mempermudah, kita ambil satu contoh sebagai ilustrasi. Wudlu’ merupakan syarat bagi sahnya hukum kewajiban shalat. Orang mukallaf yang tidak berwudlu’ maka tidak sah baginya melaksanakan shalat. Ini berarti, ketika wudlu’ sebagai syarat tidak terpenuhi maka shalat pun tidak ada (tidak sah). Akan tetapi, ketika orang mukallaf berwudlu’ tidak pasti shalat Dhuhur misalnya, menjadi ada. Mungkin waktu yang menjadi sebab kewajiban Dhuhur belum masuk. Atau tempat shalatnya masih dalam keadaan tidak suci (najis), sehingga menjadi penghalang pelaksanaan shalat.
Contoh lain, kehadiran dua saksi menjadi syarat sahnya akad nikah. Ketika tidak ada saksi maka akad nikah tidak sah. Tetapi tidak serta merta ketika ada dua orang yang memenuhi kreteria menjadi saksi lalu akad nikah pun ada. Kalau tidak ada orang yang mau nikah? Dengan demikian, kehadiarn syarat tidak berkonsekuensi logis terhadap adanya sebuah hukum, tetapi keberadaan hukum pasti tergantung terhadap terpenuhinya syarat. (M. Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, hlm. 59).
Selanjutnya, syarat terbagi dua macam. Pertama, syarat syar’i, yaitu syarat-syarat yang ditetapkan oleh syāri’ (Allah dan Rasul-Nya). Seperti ketentuan-ketentuan syarat yang ada dalam shalat, puasa, zakat, akad nikah, jual-beli, hukum qishas, waris dll. Kedua, syarat ja’li, yaitu syarat-syarat yang merupakan inesiatif dari manusia dan dibolehkan secara syar’i. Seperti syarat-syarat yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi jual-beli. Misalnya uang muka harus sekian persen, barang harus diantarkan ke tempat tertentu, barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan dll.
Akhir kata, manusia juga diberi ruang untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang bisa dijadikan syarat, asalkan tidak bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai (ghairu munāfin limuqtadlal ‘aqdi). Misalnya, tujuan dari jual-beli adalah bagaimana si pembeli bisa memanfaatkan/menggunakan barang sebebas-bebasnya. Maka ketika penjual mensyaratkan bahwa mobil yang dibeli tidak boleh dikendarai, syarat itu menjadi sia-sia karena berseberangan dengan tujuan dari pembelian mobil. (Abd. Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, hlm. 119-120).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
makasih atas keterangannya ya ...
BalasHapus