Secara bahasa māni’ berarti penghalang. Dimaksud dengan māni’ dalam istilah Ushul Fiqh adalah sesuatu yang kehadirannya menyebabkan kebuntuan hukum. Artinya, ketika sesuatu (māni’) itu ada maka konsekuensi hukum menjadi tidak berlaku. Singkatnya, ketika ada māni’ maka hukum tidak ada, walaupun sebab dan syarat sudah terpenuhi. Māni’ ini berada dalam bingkai di saat sebab sudah ada dan syarat telah terpenuhi, namun hukum tidak bisa berjalan disebabkan ada penghalang. Dengan demikian, tidak terpenuhinya syarat tidak bisa disebut māni’, meskipun hal tersebut juga menyebabkan hukum tidak jalan.
Contohnya, perbedaan agama yang menjadi penghalang (māni’) bagi terlaksananya hukum waris. Ketika terbukti seseorang memiliki ikatan perkawinan yang sah atau hubungan kekerabatan maka dia berhak menerima harta waris. Akan tetapi, hukum waris menjadi tidak berlaku (terhalangi) baginya disebabkan perbedaan agama. (Abd. Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, hlm. 120-121). Sebagaimana hadis Nabi:
لاَ يَرِثُ اْلمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكاَفِرُ اْلمُسْلِمَ
Artinya: “Orang muslim tidak bisa mewarisi (harta) orang kafir dan orang kafir tidak bisa mewarisi (harta) orang muslim”. (HR. Muslim).
Selanjutnya, māni’ terbagi dalam dua kategori. Pertama, māni’ al-hukm (penghalang/kendala hukum), yaitu māni’ yang secara langsung berpengaruh pada terlaksananya hukum. Seperti gugurnya kewajiban qishash dikarenakan si pembunuh adalah ayah dari orang yang terbunuh. Walaupun dalam kasus ini ada sebab, yaitu qatlul’amdi (pembunuhan yang disengaja), tetapi hukum qishahs tidak bisa dilaksanakan karena ada māni’ (pembunuh adalah ayahnya sendiri).
Kedua, māni’ al-sabab (penghalang efektifitas sebab), yaitu māni’ yang tidak secara langsung mempengaruhi hukum, tetapi mencederai sebab dari sebuah hukum. Seperti hutang yang mencerderai seseorang untuk dapat dikatakan kaya (memilki harta sampai 1 nishab), sehingga ia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat (zakāt al-mal).
Ketika seseorang mempunyai harta sebanyak 1 nishab, maka dia berkewajiban mengeluarkan zakat, karena sebab sudah ada. Namun, apalah arti kekayaan 1 nishab jika ternyata dia mempunyai tanggungan hutang. Oleh karena itu, sebab menjadi tidak efektif karena terhalang oleh hutang. Dalam contoh ini māni’ tidak langsung menghalangi hukum (kewajiban zakat), tetapi mencederai sebab (memiliki harta 1 nishab), sehingga hukum pun tidak ada dikarenakan sebab tidak sempurna. (M. Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, hlm. 63; (Al-Bannāniy, Hāsyiyah al- Bannāniy, juz. I, hlm. 98).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar